Monday, May 17, 2010

MANUSIA DAN CINTA KASIH "PERSAUDARAAN"

Salah satu nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur umat Hindu Bali berbunyi sebagai berikut: ''Mamusuh ngajak nyama sing dadi matelah-telahan''. Kalimat berbahasa Bali ini kalau disalin ke dalam bahasa Indonesia kira-kira artinya: ''kalau bermusuhan dengan sesama saudara janganlah habis-habisan''.

Kearifan lokal dalam bentuk nasihat tersebut kalau dicamkan dengan baik akan dapat meredam tajamnya permusuhan dengan sesama saudara. Bentuk kearifan lokal ini mungkin muncul dalam masyarakat Bali pada zaman dulu melalui proses panjang. Hal ini muncul sebagai akibat dari adanya hukum Rwa Bhineda sebagai ciptaan Tuhan. Betapa pun eratnya persatuan dalam persaudaraan pernah saja ada perbedaan. Perbedaan yang tajam sering sulit dipertemukan. Bahkan sering mengarah pada permusuhan. Permusuhan dalam persaudaraan itu kadang-kadang sulit dihindari. Karena itu, agar jangan orang terlalu frustrasi menghadapi keadaan yang tidak mengenakkan itu muncullah nasihat dari berbagai pihak seperti yang dikutip di atas.

Bentuk kearifan lokal itu juga dilengkapi dengan suatu pandangan yang dikemukan dalam bahasa Bali yang berbunyi: ''nyama mula ajak melah ajak jele'' (saudara memang diajak dalam suka dan duka, baik-buruk). Dengan ungkapan tersebut dapat menggambarkan bagaimana leluhur orang Bali Hindu dimasa lampau sangat realitas menghadapi kenyataan hidup. Meskipun bermusuhan dengan saudara bukan merupakan harapan hidup setiap orang, hal itu merupakan kenyataan sosial yang mau tidak mau harus dihadapi. Mungkin leluhur pada zaman dulu ada yang sering menjumpai kenyataan itu.

Dari menghadapi kenyataan itulah nilai-nilai agama direfleksikan ke dalam paradigma yang dituangkan dalam bentuk nasihat seperti yang dikutip di atas. Dengan paradigma itu diharapkan dapat meredakan orang bermusuhan dengan sesama saudara dalam artian yang luas. Saudara kandung, saudara seagama, sebanjar, sedesa, saudara atau soroh dan seterusnya.

Di zaman Kali ini banyak sekali kita jumpai persaudaraan tanpa sahabat. Bersaudara satu ayah satu ibu tetapi tidak bersahabat alias bermusuhan. Bersaudara dalam satu agama tetapi tidak bersahabat. Bersaudara satu parai politik tetapi bermusuhan. Bersaudara satu etnis namun bermusuhan. Bersaudara satu instansi tetapi bermusuhan bahkan saling menjelekkan satu sama lain. Demikian seterusnya dalam berbagai persaudaraan. Di Bali pun ada umat Hindu yang tidak dapat menghindar dari pengaruh zaman Kali. Ada banjar yang satu dengan banjar lainnya bermusuhan meskipun mereka bersaudara satu desa pakraman dan lagi satu agama saja. Bersahabat, bermusuhan atau bertemu, berpisah itu memang salah satu ciri dari kehidupan bersama dalam masyarakat. Hukum Rwa Bhineda menyebabkan terjadinya hal yang demikian itu.

Swami Satya Narayana menyatakan, pada zaman Kerta umat manusia tidak memiliki musuh. Zaman Treta Yuga manusia mulai memiliki musuh. Cuma musuhnya masih jauh di luar negaranya. Seperti Sri Rama, Raja Ayodya, musuhnya jauh di Alengka Pura. Pada zaman Dwapara musuh sudah masuk dalam keluarga seperti Pandawa bermusuhan dengan Korawa. Padahal mereka saudara sepupu dalam satu kerajaan lagi. Pada zaman Kali musuh sudah masuk ke setiap lubuk hati nurani manusia. Hal inilah yang sering menyebabkan orang saling memandang sebagai musuh bukan sebagai sahabat. Untuk meredam permusuhan, apalagi dalam saudara, ada baiknya kita kuatkan lagi berpegang pada nasihat sebagai kearifan lokal Bali tersebut. Jadikanlah kelebihan dan kekurangan sesama saudara itu milik sendiri. Memusuhi saudara sendiri sesungguhnya memusuhi diri sendiri. Karena saudara kita itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan diri kita. Apakah itu saudara sekandung, saudara seagama, saudara satu sesembahan atau satu soroh. Semuanya itu adalah saudara kita. Karena seseorang akan sangat tersiksa bermusuhan dengan sesama saudara seperti itu.

Akan sulit menghindarkan pertemuan-pertemuan apakah dalam rapat banjar, bertemu di Pura Desa, Pura Keluarga. Bertemu dalam suatu upacara keagamaan dan lain-lain. Kalau kita habis-habisan bermusuhan dengan saudara, kita akan benar-benar menderita setiap kali berjumpa. Kalau kita redam dengan nasehat yang arif ''bermusuhan dengan saudara janganlah habis-habisan''. Apa lagi punya konsep mencari kemenangan dengan jalan mengalah. Dengan mengalah dalam permusuhan dengan saudara justru kita akan menang. Dengan tidak merasa bermusuhan kita akan merasa terbebas dari rasa tertekan. Memang kita harus berani berkorban dengan merendah atau di Bali disebut ngalap kasor. Artinya mengambil hati dengan merendah. Kalau itu dirasakan sebagai suatu yadnya tidak akan ada perasaan turun gengsi. Masyarakat pun umumnya akan menilai yang berani mengalah itu lebih dihormati dari yang tidak mau mengalah. Itulah suatu kemenangan bagi mereka yang mau mengalah dalam permusuhan itu.

No comments:

Post a Comment